Selasa, 19 Mei 2009

Prinsip-Prinsip Pembelajaran Beracuan Konstruktivisme

 

Oleh: Trisdyanto

Secara teoritis, pandangan konstruktivisme dalam pembelajaran matematika di tanah air mulai banyak diperbincangkan para guru. Namun secara praktis, belum banyak kita membaca laporan hasil pengembangan pembelajaran khususnya matapelajaran matematika di sekolah yang beracuan pandangan tersebut. Hal ini bisa dimaklumi, karena masih banyak keraguan di kalangan guru matematika apakah konstruktivisme dapat meningkatkan pencapaian kompetensi siswa. Keraguan lain utamanya terletak pada pribadi guru sendiri apakah mampu mengembangkan pembelajaran itu. Namun, keraguan tersebut akan terus menjadi keraguan apabila kita tidak berani mencoba menguji dalam pembelajaran matematika kita.

Beberapa keberhasilan yang telah ditunjukkan oleh para pengembang pembelajaran matematika yang beracuan pada konstruktivisme adalah Herlina (2003), Sa’dijah (2006).

Hasil penelitian Herlina (2003:iv) menunjukkan bahwa pendekatan konstruktivisme dalam perkuliahan matakuliah Fisika Matematika dapat meningkatkan aktivitas dan konsepsi mahasiswa dan pada umumnya mahasiswa sangat antusias.

Sa’dijah (2006:111-122) telah mengembangkan model pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme (PMBK) dan didukung dengan perangkat pembelajaran yang mendukung model pembelajaran tersebut. Penelitian dilakukan pada siswa kelas VII SMP Negeri 1 Malang pada tahun 2003, yakni materi Bilangan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa model pembelajaran yang dikembangkan memenuhi kriteria efektif, karena kemampuan guru mengelola pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme baik, persentase rata-rata aktivitas siswa dalam tugas dan kegiatan pembelajaran matematika sesuai model mencapai lebih dari 85%, rata-rata hasil pekerjaan siswa pada LKS bernilai baik, rata-rata hasil tes matematika siswa bernilai baik, guru dan siswa memberikan respon positif terhadap pembelaran yang menggunakan model PMBK. Kedua hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan konstruktivistik memberikan hasil yang positif dan layak dikembangkan di sekolah kita dalam materi matematika yang sama atau lainnya.

Menyadari bahwa karakteristik anak didik kita dalam tingkatan intelektual dan gaya belajar yang beragam, yang berakibat pada perbedaan kemampuan dan kecepatan mereka menuntaskan tugas-tugas belajarnya, maka pandangan konstruktivisme adalah relevan diterapkan dalam pembelajaran matematika. Belajar matematika adalah masalah membangun pemahaman dan pengertian terhadap materi matematika. Yang harus melakukan belajar adalah anak didik sendiri baik secara individual atau dengan bantuan teman atau gurunya. Mereka sendiri yang harus melakukan upaya membangun pemahamannya tersebut, teman yang lebih mampu atau gurunya sebatas memberikan bantuan hingga mereka mampu menyelesaikan sendiri tugas-tugas belajarnya untuk mendapatkan pengetahuan konseptual ilmiahnya berdasarkan pengetahuan spontannya.

A. Prinsip-prinsip Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme

Pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme (disarikan dari Suparno, 1997) dikembangkan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

  1. Pengetahuan bagi individu adalah hasil konstruksi individu sendiri.
  2. Individu dapat mengonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomen, pengalaman, dan lingkungannya.
  3. Pengetahuan yang benar apabila pengetahuan hasil konstruksi itu dapat digunakan untuk memecahkan masalah atau fenomen yang relevan.
  4. Pengetahuan tidak dapat ditransfer oleh seseorang dari orang lain, melainkan melalui proses interpretasinya masing-masing.
  5. Pengetahuan dibangun sendiri oleh siswa, baik secara personal maupun sosial.
  6. Perubahan konsep ke arah yang lebih rinci, lengkap, dan ilmiah terjadi apabila proses konstruksi berlangsung terus menerus.
  7. Peran guru dalam pembelajaran beracuan konstruktivisme adalah sekedar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi pengetahuan berjalan dengan baik.
  8. Pengetahuan individu tersimpan dalam struktur kognitifnya, didapat melalui proses mengonstruksi secara fisik dan mental dalam lingkungan fisik dan sosial.
  9. Pengetahuan hasil konstruksi sebagai struktur kognitif individu, tertanam sebagai struktur logis dan matematis yang bersifat abstrak berasal dari dua kemungkinan abstraksi, yaitu (1) abstraksi dari objek secara langsung yang menghasilkan pengetahuan empiris atau eksperimental, dan (2) abstraksi atas dasar koordinasi, relasi, operasi, penggunaan, yang tidak langsung keluar dari sifat-sifat objek.
  10. Pengetahuan baru dapat dengan mudah dikonstruksi oleh individu apabila terjadi asosiasi dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. Dengan demikian, tugas guru adalah membangkitkan kembali pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki siswa.
  11. Pengetahuan baru akan lebih mudah dikonstruksi oleh siswa apabila diawali dari hal yang konkrit dan ini lebih baik dari pada pengetahuan awal yang abstrak.

B. Model Pembelajaran

  1. Pola Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme

Berdasarkan pendapat dari Horsley (1990), Tobin dan Timon, Yager sebagaimana disarikan Hamzah (2003:7) dan Dahar (1988:193), pola pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme adalah sebagai berikut:

  1. Pembelajaran diawali dengan menggali konsepsi awal yang dimiliki anak, agar anak lebih termotivasi dan mebangkitkan kesadaran pengetahuan matematisnya. Penggalian berguna untuk mempersiapkan diri siswa melakukan proses asimilasi untuk mencapai keseimbangan pada proses selanjutnya.
  2. Pembelajaran tahap berikutnya adalah anak melakukan kegiatan eksplorasi dengan kehadiran objek riil, untuk mengenal ciri-ciri dan sifat-sifat fisik secara langsung dan memberikan perlakuan terhadap objek itu. Dengan perlakuan dan operasi, relasi, koordinasi terhadap penggunaan objek riil akan didapatkan abstraksi logis dan matematis.
  3. Tahap konstruksi lebih lanjut melalui aktivitas interaksi antar siswa dalam kelompok kecil atau kelompok besar, dalam diskusi saling bertukar ide untuk menyusun persetujuan pengetahuan yang dikonstruksinya.
  4. Tahap pemantapan konstruksi pengetahuan melalui situasi yang memungkinkan siswa menerapkan pengetahuan atau menguji pengetahuannya.

 

  1. Karakteristik Pembelajaran

Enam karakteristik pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme sebagaimana disarikan oleh Sa’dijah (2006:113) adalah sebagai berikut:

  1. Karakteristik Pertama. Mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa sehingga pengetahuan akan dikonstruksi siswa secara bermakna. Penyediaan pengalaman belajar yang sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki siswa adalah perlu dilakukan.
  2. Karakteristik Kedua. Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi realistik dan relevan, sehingga siswa terlibat secara emosional dan sosial. Yang bisa dilakukan bagi siswa adalah penyediaan pengalaman belajar atau tugas-tugas matematika yang relevan dengan kehidupan sehari-hari.
  3. Karakteristik Ketiga. Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar. Yang dapat dilakukan sesuai karakteristik ini adalah memberikan pertanyaan terbuka, menyediaakan masalah yang dapat diselesaikan dengan berbagai cara atau multi solusi.
  4. Karakteristik Keempat. Mendorong interaksi dan kerjasama dengan orang lain atau lingkungannya. Mendorong terjadinya proses konstruksi pengetahuan baru yang dipelajarinya.
  5. Mendorong penggunaan berbagai representasi idea, misal dalam bentuk benda konkrit, bentuk gambar benda, simbol gambar, simbol, dan bahasa.
  6. Karakteristik Keenam. Mendorong peningkatan kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan melalui refleksi diri. Refleksi diri yang menjelaskan mengapa dan bagaimana pengetahuannya dikonstruksi atau suatu masalah dipecahkan, mengomunikasikan konsep-konsep yang sudah atau yang belum diketahui secara lisan atau tertulis.

 

  1. Sintaks Model Pembelajaran

Model pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme sebagaimana dikembangkan Sa’dijah (2006:116-117) terdiri dari lima fase, yaitu:

  1. Fase Pertama: Fase Kesadaran. Fase kesadaran dilakukan dengan penyediaan sumber belajar realistik yang relevan dengan pengetahuan yang dimiliki siswa, agar pengetahuan matematisnya tumbuh dan bangkit. Selain itu melalui pertanyaan lisan atau tertulis, siswa dapat mengungkapkan pengetahuannya, ide-idenya tanpa diiringi oleh pembetulan oleh guru.
  2. Fase Kedua: Fase Operasional. Fase mencari solusi atas masalah yang diajukan. Pencarian solusi dilakukan dengan bereksplorasi dari objek realistik yang disajikan, mengamati, memperagakan, mensimulasikan, meneliti, percobaan, untuk mendapatkan data-data yang dapat dianalisis, kemudian dapat diabstraksi sebagai pengetahuan atau struktur logis matematis. Yang dapat ditanamkan kepada siswa pada saat eksplorasi antara lain: alasan-alasan melakukan eksplorasi ide baru, mengenalkan konsep matematis.
  3. Fase ketiga: Mediatif. Sebuah kegiatan yang dapat terintegrasi pada fase-fase lainnya, bergantung pada kondisi anak (individu atau kelompok)
  4. Fase Keempat: Fase Reflektif. Fase reflektif dilakukan untuk mengungkapkan kembali pengalaman belajar individu sebelumnya dalam diskusi kelompok. Secara kooperatif dalam kelompok kecil siswa dapat berdialog, berkomunikasi, bertukar dan saling memperkuat ide-idenya.
  5. Fase Kelima: Fase Penyusunan Persetujuan. Tahap mengonstruksi pengetahuan lebih lanjut dilakukan dengan refleksi dalam ruang lingkup kelas untuk melakukan pengujian dan penyusunan kembali pengetahuan matematikanya yang sudah dikonstruksi pada fase sebelumnya.

Secara ringkas, fase-fase dari sintaks pembelajaran dapat digambarkan Sa’dijah (2006) dalam bagan berikut:

clip_image002

(Sa’dijah, 2006:115)

C. Prosedur Pembelajaran

  1. Metode dan Pendekatan

Metode pembelajaran merujuk pada aktivitas yang langsung dilakukan dalam membangun interaksi pebelajar dengan materi pelajaran. Bila ditinjau dari guru sebagai agen pembelajaran, metode pembelajaran adalah cara yang ditempuh guru agar pebelajar berinteraksi dengan materi pelajaran. Sedangkan bila ditinjau dari pebelajar sebagai subjek belajar, metode pembelajaran dimaknai sebagai metode belajar, yakni cara yang ditempuh siswa dalam melakukan interaksi pebelajar dengan materi pelajaran.

Merujuk pada model pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme, maka metode pembelajaran yang mendukung model tersebut adalah:

1) Metode penemuan (Discovery)

Metode ini memungkinkan siswa sendiri atau dibantu temannya atau bahkan guru berusaha menemukan pengetahuan baru atas materi yang dipelajarinya. Tentunya, pengetahuan baru itu bukanlah yang benar-benar baru, karena orang lain sudah mengetahuinya. Sehingga metode ini biasa disebut metode penemuan terbimbing (discovery).

Metode penemuan akan memberikan kesempatan lebih luas kepada pebelajar untuk membangun sendiri pengetahuan matematikanya tanpa banyak diberitahu oleh gurunya. Sesuai dengan prinsip konstruktivisme personal dan sosial, maka metode ini relevan dalam pembelajaran melalui penciptaan situasi sosial kooperatif, sehingga terjadi transfer belajar dari siswa berkemampuan lebih kepada yang kurang.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan metode penemuan adalah:

a) Guru harus bertindak sebagai pengarah atau pembimbing saja, bukan sebagai pemberi tahu.

b) Guru perlu memperhatikan pengetahuan prasyarat yang diperlukan bagi upaya belajar penemuan pengetahuan yang baru itu.

c) Semangat menemukan pengetahuan baru atau pengalaman belajar siswa harus dipelihara agar tidak cepat bosan.

d) Guru perlu menyediakan anak tangga menuju tingkatan pengetahuan barunya dengan menapak sendiri anak tangga tersebut.

2) Metode diskusi

Metode diskusi sangat relevan dan mendukung model pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme dengan menggunakan bahan ajar berbasis konstruktivistik. Melalui aktivitas diskusi berarti ada interaksi antara guru dan siswa atau siswa dan siswa dalam membangun pemahaman bersama mengenai materi pelajaran. Metode diskusi memungkinkan setiap individu merefleksikan ide dan pikirannya atas temuan, pengalaman, konsep yang dimilikinya, sehingga semakin menyempurnakan pengetahuannya hingga didapatkan konsep yang lebih rinci dan ilmiah.

Penerapan metode diskusi akan memungkinkan terjadinya proses konstruksi pengetahuan lanjutan setelah melakukan konstruksi tahap awal melalui objek realistis dalam belajar penemuan. Metode diskusi memungkinkan beragamnya pengalaman belajar siswa dan dapat menambah kepercayaan dirinya diantara teman-teman dalam kelompok atau dalam kelas. Dengan demikian metode diskusi akan menyempurnakan hasil belajar siswa.

3) Metode pemberian tugas

Metode pemberian tugas sebagai pendukung model pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme disarankan dengan konsep bahwa pebelajar yang konstruktivis akan banyak melakukan aktivitasnya dalam mengembangkan pengetahuan dan pengalamannya hingga tingkatan optimal. Melalui pemberian tugas, pebelajar akan meluangkan waktunya lebih banyak mengonstruksi pengetahuan dan pengalamannya sehingga penyimpanan informasi dalam memori jangka panjang lebih terjamin.

Pemberian tugas yang umum dilakukan guru dalam pembelajaran adalah tugas pekerjaan rumah mengerjakan soal-soal latihan. Ini dengan harapan dapat meningkatkan dan melatih pemahamannya dalam situasi yang berbeda dengan sebelumnya. Namun demikian, konstruksi pengetahuan akan lebih berarti lagi apabila pemberian tugas adalah tugas lainnya, seperti membuat produk tertentu dengan basis pengetahuan yang dipelajarinya, tugas proyek yang menuntut aktivitas investigasi dan pengumpulan data untuk kemudian menyusun laporan.

Selain metode pembelajaran yang ditinjau dari sisi guru sebagai agen pembelajaran dan siswa sebagai subjek belajar, hal penting yang disarankan dalam PMBK ini adalah pendekatan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran merupakan upaya ang ditempuh guru dalam menciptakan situasi belajar agar interaksi pebelajar dan materi pelajaran terjadi lebih intensif dan lebih mudah. Sesuai model pembelajaran PMBK, maka pendekatan pembelajaran yang diterapkan ini adalah pendekatan konstruktivism, yakni yang mendasarkan pada pandangan konstruktivisme

  1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Rencana pelaskanaan pembelajaran sebagai salah satu perangkat pembelajaran adalah imlementasi semua konsep pembelajaran dalam bentuk rencana yang sistematis dan mudah dipedomani dalam melaksanakan pembelajaran kelas. RPP disusun mengacu kepada Standar Proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah (Permendiknas No. 41 tahun 2007). Sesuai dengan petunjuk di dalamnya, maka RPP disusun dengan struktur sebagai berikut:

1) Identitas matapelajaran

2) Standar kompetensi

3) Kompetensi dasar

4) Indikator pencapaian kompetensi

5) Tujuan pembelajaran

6) Materi Ajar

7) Alokasi waktu

8) Strategi Pembelajaran: Metode, Pendekatan, dan Model Pembelajaran

9) Kegiatan pembelajaran, mencakup: kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan penutup.

10) Penilaian hasil belajar

11) Sumber belajar.

RPP disusun dengan orientasi pembelajaran agar berlangsung secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik.

Secara rinci RPP untuk pembelajaran dengan model PMBK yang didukung bahan ajar berbasis konstruktivistik diuraikan dalam bagian di halaman-halaman berikutnya.

D. Penutup

Demikian uraian-uraian penting mengawali pelaksanaan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme dengan menggunakan bahan ajar berbasis konstruktivistik, dengan harapan dapat menjadi informasi yang bermanfaat dan dapat dipedomani. Selebihnya adalah tergantung kreatifitas bapak/Ibu guru dalam memaknai pedoman dan mengembangkannnya dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas.

E. Daftar Bacaan

Dahar, Ratna Wilis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Ditjen Dikti Proyek Pengembangan LPTK Depdiknas.

Depdiknas. 2006a. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 22 Tahun 2006, tentang Standar Isi Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 41 Tahun 2007, tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. 2008a. Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA, Dirjen Mandikdasmen, Depdiknas.

Depdiknas. 2008b. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 2 tahun 2008 Tentang Buku. Jakarta: Depdiknas.

Freudenthal, Hans. 1991. Revisiting Mathematics Education. Netherlands: Kluwer Academic Publishers.

Hamzah. 2003. “Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme.” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.040-Januari 2003. Online (http://www.depdiknas.go.id), Download Tgl. 19-9-2007.

Hudojo, Herman. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang Press.

Sa’dijah, Cholis. 2006. “Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme untuk Siswa SMP.” Jurnal Pendidikan Matematika MATHEDU PPs UNESA Vol. 1 No. 2, Juli 2006, Hal. 111 – 122.

Soedjadi, R.. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.

Suherman, Erman dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

DEVELOPING ENGLISH LEARNING METHODE

THE ROLE OF THE NATURAL RECREATIONAL OBJECT TOWARD THE ABILITY TO WRITE SHORT COMPOSITION

Author

FAKHRURRASYID

Fakhrurrasyid is an English teacher of SMP Neg.1 Bungoro Pangkep. He has been teaching English at different level for over eleven years. His research interest include developing writing skill.

Abstract

The natural recreational objects is one of strategy that the writer put forward to develop the ability of students to write short composition. Related to that strategy the writer want to know whether or not the natural recreational object strategy is effective for the students in increasing their ability to write short composition.

To answer the problem statements which are relevant to objectives of the research, the writer applied experimental method. He collected data by using writing test. The data collected through writing test were firstly tabulated and then analyzed in percentage. The researcher take 30 students of III Bahasa of SMU 1 Pangkep as the sample of this research.

The conclusion is that natural recreational object effective to use for the students to increase their ability to write short composition.

Keywords : Natural Recreational Object, Short Composition.

Introduction

Writing is one of the four language skills, deals with production or reproduction. Production or reproduction is the process of the memory by which previously known objects are recalled to consciousness. The occurrence in consciousness of a group of sensations considered as having already been present in experience or perception. It is also a reaction which repeats in similar or associated form of any previous reaction, perception, or other remembered experience.

The writing of composition is a kind of students’ task. The task inquiries the students to manipulate words in correct grammatical sentences. Those sentences are linked to form a piece of continuous writing. It successfully communicates the writer’s thought and ideas on a certain topic.

Natural recreational object is an object that can be used as a topic to write short composition by students because they are familiar with it. If the students see, feel or touch the object, they can keep it in their mind longer and then transfer it onto a paper.

Nurzaitun (1996) states that one reason for learning to write is to transmit ideas to other people, especially to those who are at a distance in time and space. Another reason for learning to write well is that writing process can help us sort out and organize random thought, clarify what we really think and to develop our ideas.

To write composition of different versions, students are usually hindered by factors such as limited vocabulary, the uninteresting topics given, the interest of students in learning writing, the time to teach writing or unsuitable techniques. Among those factors, topics and techniques are important factors that should be given special attention because by providing good writing topics and techniques, the students can improve their ability to organize their ideas into good writing.

Writing is an open process of discovery. To make the writing excited, some preparation should be done. It consists of preparing the students in the prewriting period, analyzing the writing task, gathering materials, thinking and planning. All the parts of the preparation comes together to make something new.

The result of this research is expected to be worthwhile information for the English Teachers in increasing their teaching quality and for the students as a devise for increasing their ability to write short composition.

A. Natural Recreational Objects

Winston (1930) gives explanation about word “natural objects” that natural is anything that produced by nature while objects is anything that can be perceived by the sense or anything that can be seen or touched. So natural recreational object is the place for recreation that produced by nature and can be perceived by the sense.

Detheer (1984) states that if we want to write, the most basic in writing is the world around us. There are endless subject in the people and things around us. We just have to open ourselves up to them and start thinking for writing.

B. The Concept of Writing

Writing is a complex process. It involved generating and developing ideas, analyzing meanings, and making many decisions about contents, form, organization, and style. Although the process may very somewhat from one writer to others, it typically includes the following stages: prewriting, drafting, revising, editing, and rewriting.

a. Prewriting.

Before we write, we need to determine what to write, we should have something meaningful to convey. If we have determined what we will write about, we usually need an incubation period in which to mull it over, organize our thinking and perhaps generate more ideas or collect more information.

b. Drafting

In this section we begin to feel ready to write. How long it takes to move ideas to the paper depends on the individual and nature of the writing project. Readiness to begin writing does not necessarily mean that the composition is completely shaped, either in our head or on notepaper.

c. Revising

The task of this stage is to make certain the piece conveys to readers what we want to tell them. Revising is a time for determining whether the content is well organized and clear.

Bram (1995: 68) states that when revising our own writing work, we might need to present that we are revising someone else’s work. In this process, we try to make certain that the readers can understand our message. We should check whether the logic of our ideas is presented smoothly.

d. Editing

We are ready to edit it for technical and mechanical accuracy in preparation for making the final copy. It involves analyzing the adequacy of paragraph structure. In addition, editing should make the writing product solid, clear, and appropriate.

e. Rewriting

Norton (1980: 294) defines the rewriting connected with composition in this way, rewriting is not just recopying neatly, minus a few punctuation errors. It is not just fixing what is wrong. Rewriting is finding the best way to give your newly discovered ideas to others; it is a finishing, a polishing up, and it should be creative and satisfying as any job well done.

C. Types of Composition

There are four types of composition namely; expository composition, descriptive composition, narrative composition, and argumentative composition.

a. Expository Composition

Expository composition is a kind of composition that explains the subject. It can also be used to explain the essence of anything; how it works, how the element connected with other things. In this composition we effort to introduce something by giving information.

b. Descriptive Composition

The function of descriptive composition is to make the reader as if see the object directly from the material that the writer has written. This kind of composition gives more emphasize to the shape of the object by giving or explaining the unique small part of the object.

c. Narrative Composition

This composition relates to the presentation of any cases in our complete composition. The main problem or it is action in relating one case that written into story. Basically, every person has ability in talking anything. Therefore narration can be considered as a basement of any kinds of composition.

d. Argumentative Composition

Argumentative composition is a composition that explains or makes sure the reason, sample, evidence, so the reader influenced and supported by the ideas, opinions, attitude and the belief of the writer. And the end the reader acts as what the writer needs.

D. Parts of Composition

All composition has in common three major parts; they are introduction, discussion, and conclusion. The first part of the composition is introduction. It is usually quite brief. It may consist simply of the thesis sentence, or it may contain additional sentence.

The second part of composition, the discussion, is the main part. In short composition, for example, the discussion normally consumes the three longest paragraphs. The proportion is similar in longer composition, the discussion part being three fifth to four fifth of the total composition.

The third part of composition is the conclusion. In short composition the conclusion, is brief, in two or three sentences. It may summarize the subject or main purpose of the composition and give emphasis to it with a final statement of special impact or importance. The composition should not end abruptly nor should it fade away. The end should come naturally, the main purpose completed, the final statement made.

E. The Component of Writing

The quality of students writing is determined by a quality rating using the composition profile (Rahman: 1990). This profile include five dimensions of a piece of writing, namely: 1) content 2) organization 3) vocabulary 4) language use 5) mechanic.

a. Content

There are at least four things that can be measured in connection with content, the composition should contains one central purpose only, should have unity, should have coherence and continuity, should be adequately developed (Sullivan: 1976).

  1. The composition should contain one central purpose only. Like a small portrait, the composition, the composition should be limited to one part of a subject although the subject is probably much longer than the single aspect discussed in the composition.
  2. The composition should have unity. Unity means that the composition should be of one piece a distinct unit that has one functional purpose
  3. The composition should have coherence and continuity. These terms are closely – related. Coherence means that the parts of the composition should be logically connected. Continuity means that the connection of the parts should be smooth. To make comparison, a coherence composition is like a motor that is properly assembled; with all parts in the right places, the motor can run. Continuity is like al oil that lubricates the operation making it smooth and preventing the motor from burning out.
  4. The composition should be adequately developed. It should do fully what is a set out to do. It should not leave the job half done. The degree of development depends upon the aim or purpose of the composition.

b. Organization

One composition can be told as an organize composition if the words, sentences, and paragraph line up easily form a clear patterns. Sullivan (1976: 100) states four ways in organizing composition, namely: 1) getting the correct order 2) keeping a balance 3) providing signal 4) paving the way.

  1. Getting the correct order. The correct order depends on the purposes of the composition. If the purpose is to narrate or tell a story, the correct order should be chronological. In other word, we should tell what happened first second, third, and so on. If the purpose of the composition is to explain something, the correct order might be cause and effect or vice verse. If the purpose is to urge for or against something, the correct order is a matter what is logical, etc.
  2. 2. Keeping a balance. Because no composition can fully describe anything or anyone, the limits of the composition are set in the introduction, but the composition must be sure to live up to those limits. A balance must be achieved and that balance depends on the purpose that we state is thesis sentence of introduction.
  3. Providing signal. We should provide signal to the reader at all important points in our composition, particularly at major turning points. These signals like road sign to motorist should help to keep the reader moving in the right direction in following our thought in the composition.
  4. Paving the way. Reading the composition should not be an unpleasant experience for the reader. In addition to providing him with signal along the way, we should pave the way for him. Our word choice, our sentence structure, the organization of our paragraph should all be smooth and readable.

c. Vocabulary

Good writing always depends on the effecting use of word. Adelstain (1980: 123) states in scientific and technical writing, language should be exact and precise, selected to convey specific meaning, design to communicative information, not feeling.

Bram (1995) states that the kind of word that should we use in writing are: action verbs (not linking verbs) concrete words (not abstract words), and specific words (not general ones).

d. Language Use

Language use in writing short composition and other form of writing involves correct usage and point of grammar. An Adequate grammar should be one that is capable of producing grammatical sentences and ruling out ungrammatical ones. But beyond this, a grammatical should be able to produce or to project all of the grammatical sentences possible in a language

e. Mechanics

Here there are at least two main parts of mechanic in writing, namely: punctuation and capitalization.

The first part of mechanic is punctuation. Norton (1980) states that punctuation is important because it clarifies meaning. The second part is capitalization. Capitalization is another signal that clarifies meaning. We expect the writer to signal the beginning of a sentence with a capital letter and the end of a sentence with a period, question mark, or exclamation mark. We also expect the writer to signal important titles and names by capitalization. If the writer capitalize Northeast, we know that he is referring to specific section of the country; if does not capitalize northeast, we know the reference is to a direction.

Both punctuation and capitalization clarify written communication for the reader. We know need to understand why mechanical skills are necessary, but they must also be aware that writing is primarily concerned with the development of content and idea. Norton (1980) states that mechanical skills in writing are important. It must not be stressed to the point where they make a student lost his interest in writing or stifle his creative instinct. Nor must they be neglected to the extent that the student becomes careless in his written word.

F. Characteristic of Written Language

Brown (1994) states seven characteristics of written language, namely: 1) permanence 2) production time 3) distance 4) orthography 5) complexity 6) vocabulary 7) formality.

Permanence

Permanence is one something written down and delivered in its final form to its intended audience, we need to abdicate a certain power: power to emend, to clarify, and to withdraw.

Production Time

We can indeed become a good writer by developing efficient processes for achieving the final product if the appropriate stretches of time give. Many educational contexts demand student writing within time limits, or writing for display. Therefore with sufficient training in process writing, combined with practice in displaying writing, we can help ourselves and other to deal with time limitations.

Distance

One of the thorniest problem writers face anticipating their audience. That anticipation range from general audience characteristics to how specific words phrases sentences, and paragraphs are going to be interpreted. The distance factor requires what we have called cognitive empathy, in that good writer can read their own writing from the perspective of the mind of targeted audience. Writers need to be able to predict the audience’s general knowledge, and very importantly, how their of language will be interpreted.

Orthography

Orthography in the art of spelling or the standard method of grouping letters to form words. Everything from simple greetings to extremely complex ideas are captured through the manipulation of a few dozen letters and other written symbols. Sometimes we take from granted the mastering the mechanics of English writing by the students. If students are not literate in the native language, we must begin at the very beginning with fundamentals of reading and writing.

Complexity

To overcome the complexity of writing, writers must learn how to remove redundancy (which may not jibe with their first language rhetorical tradition), how to combine sentences, how to make references to other elements in a text, how to create syntactic and lexical variety, and much more.

Vocabulary

As what the writer has explain before that vocabulary is very important, if we want to make a good writing we have to use effective words. We can not speak and write more if we don’t master the vocabulary

7. Formality

Whether a students is filling out a questionnaire or writing s full-blown essay, the conventions of each form must be followed. For ESL students the most difficult an complex convention occur in academic writing where students have to learn how to describe, explain, compare, contrast, illustrate, defend, criticize, and urge.

Research Method

1. Research Design

This research employs descriptive method with the intact group single control design. The representation for this design in as follows:

G1 (intact) – O – X

Where: G1 = The students of III Bahasa

   O = Object / test

   X = the test result 

2. Variable

a. Independent Variable

The independent variable of this research is teaching technique using natural recreational objects. The researcher applied this teaching to seek the more effective technique to measure the ability of the students.

b. Dependent Variable

The dependent variable of this research is students’ ability to write short composition.

In collecting data, the researcher used writing test as an instrument, where the students were assigned to write descriptive composition of three paragraphs based on Leangkassi Natural Recreational Object. The main ideas of the three paragraphs are:

a. Place for recreation

b. For irrigation

c. For supplying drinking water.

In collecting data the researcher followed these steps below:

  1. The researcher explained about the writing of short composition to the students.
  2. The students were asked to search for an object and then asked them to write composition based on what they have searched.

The data collected through the test were analyzed qualitatively and quantitatively. In the qualitative analysis the researcher analyzed the data from the test that supported the findings of the quantitative analysis, while in the quantitative analysis he employed statistical calculation.

The step undertaken in the qualitative analysis were as follow:

  1. Scoring the students’ writing by seeing the five component of writing composition, as stated below: content, organization, vocabulary, language use, and mechanics
  2. Scoring the all components of writing by using the following scoring scale:

Classification

Score
Very Good 42 - 50
Good 33 - 41
Everage 24 - 32
Poor 15 - 23
Vey Poor 5 - 14

     3. Tabulating the score of the students’ writing.

     4. Calculating the score by using following formula:

clip_image002[4]

Where: X = mean score, å X = total of raw score, N = the number of respondent (Hatch, 1991)

     5. Finding out the percentage of the writing score by the help of the following formula:

clip_image002[6]

Where: F = commulative frequency, N = the total number of respondent (Hatch, 1991).

The discussion of the data analysis is divided into two parts. The first is the discussion of the data analysis obtained through the composition test which intends to describe the ability of the students in general to write short composition. The second is the discussion on the five qualities of a short composition.

1. The ability of the students to write short composition

By observing the data we find out that some students got average (46.7%). Few of them (33.3%) got poor and the rest (20%) got good classification. It means that more of the students have sufficient ability to write short composition. It is supported by the total mean score of the students obtained through the test which was 26.87% (27) it is classified as average.

Based on the percentage and mean scores, we can conclude that the third grade students of SMU 1 Pangkep have sufficient ability to write short composition that possesses content, organization, vocabulary, language use and mechanic.

2. Discussion on the five qualities of good composition.

a. Content

By observing the data of content, we find out that the ability of the students to write short composition possesses content are sufficient. It is proved by the data that many students (50%) that is classified as average and some of them (40%) that is classified as good. It indicates that the students have sufficient ability (90%) to write short composition possesses content.

b. Organization

After analyzing the data of organization quality, the students have sufficient ability to write short composition possesses organization quality. It is proved by the data that 33.3% students that is classified as good and 43.3% that is classified as average.

c. Vocabulary

Observing the data of vocabulary we find out that many students got average (53.3%). Few of them (33.3%) got good. It indicates that the students have sufficient ability (86.6%) to write short composition possesses vocabulary.

d. Language use

The ability to write short composition of the students possesses language use are sufficient. It is proved by the data that some students (43.3%) that is classified as average and few of them (10%) that is classified as good. It indicates that the students have sufficient ability (53.3%) to write short composition possesses language use.

e. Mechanic

By seeing the data, the ability to write short composition of students possesses mechanic quality are sufficient. It is supported by the data that many students (53.3%) that is classified as poor. It indicates that the students have insufficient ability to write short composition possesses mechanic quality.

f. The five qualities of short composition

Some students (46.7%) that is classified as average. Few of them (20%) that is classified as good. It indicates that the students have sufficient ability (66.7%) to write short composition possesses five qualities.

Conclusion

Considering the result of the data analysis the writer conclude that:

  1. Natural recreational objects, searching them directly, the students could write composition well. It is proofed by the data that most of the five components of writing, some students got average. So the students writing is not bed.
  2. Natural recreational objects strategy is effective for the students to increase their ability to write short composition.

Suggestion

Based on the result of the data analysis of the research, the writer puts forward some suggestion:

  1. The natural recreational objects is good to use as a device for writing short composition.
  2. The teacher of English should teach more about the grammar in teaching writing because most students could not differentiate the use of tenses in their composition.
  3. The teacher of English should teach more about mechanics in teaching writing because some students are still lack in mechanics especially the capitalization and punctuation like the use of comma, period, and quotation marks.
  4. The learners of English should practice to write short composition by using natural recreational objects for increasing their ability to write.

Bibliography

Adelstain, Michael and Pival, G. Jean. 1990. The Writing Commitment. New York: Harcourt Brace Javenovich.

Andi Suriatiratna. 1991. Using Still Picture to Guide Students in Learning English Writing for the Second Year Students of Language Department at SMA Neg. 600 Cangadi Kabupaten Soppeng. Ujungpandang: Thesis FPBS IKIP Ujungpandang.

Ambo Enre, Fachruddin. 1994. Dasar-dasar Keterampilan Menulis. Ujungpandang: Badan Penerbit IKIP Ujungpandang.

Axelord, Rise B. 1988. Guide to Writing. New York: St. Martin’s Press Incorporated.

Bailey, Edward P. 1984. Writing Clearly. New York: Bell Howell Company.

Bram, Barley 1995. Write Well: Improving Writing Skills. Yogyakarta: Kanisius.

Brown, H. Douglas. 1994. Teaching by Principle. Sanfransisco: Prantice Hall incorporated.

De Haven, Edna P. 1988. Teaching and Learning the Language Arts. New York: Cambridge University Press.

Detheer, Brock. 1984. Resources for Writing with a Purpose. New York: Longman.

Hatc, evelyn and Lazaraton, anne. 1991. The Research Manual. California: Newbury House Publisher.

Heaton, J.B. 1975. Writing English Language Test. New York: Longman.

Kennedy, X.J. and Kennedy, Dorothiy M. 1987. The Bedford Guide for College Writer. New York: St. Martin’s Press Incorporated.

Iryani, Neni. 1988. The Ability of the Fifth Semester Students of English Department of IKIP Ujungpandang to Compose Descriptive Paragraphs Using Familiar Picture. Ujungpandang: Thesis FPBS IKIP Ujungpandang.

Norton, Donna E. 1990. The Effective Teaching of Language Arts. New York: Bell and Howell Company.

Nunan, David. 1989. Designing Test for the Communication Classroom. New York: Cambridge University Press.

Nuraida. 1991. Types of Errors Found in Writing Composition by the Fifth Semester Students of English Education Department of FPBS IKIP Ujungpandang. Ujungpandang: Thesis FPBS IKIP Ujungpandang.

Nurzaitun. 1996. The Ability to Write an English Composition Through Parallel Writing Tecnique. A case study on the third grade students of SMU 8 Ujungpandang. Ujungpandang: Thesis FPBS IKIP Ujungpandang.

Rahman, Muhammad Asfah. 1990. Some Effect of Computer on ESL Student Writing. Desertation submitted to the graduate faculty in the school of education. Pittsburgh: University of Pittsburgh.

Ramodding. 1994. The Ability to Develop Expository Paragraph of the Fifth Semester of Strata One Students of English Department of FPBS IKIP Ujungpandang. Ujungpandang: Thesis FPBS IKIP Ujungpandang.

Rasyid, Muhammad Amin and Nur, Hafsa J. 1997. Teaching English as a Foreign Language (TFEL) in Indonesia: Theory, Practice and Research. Ujungpandang.

Sullivan, Kathleen E. 1976. Paragraph Practice. New York: Macmillan Publishing Co., Inc.

Winston. 1930. The Winston Simpliufied Dictionary. New york: The John C. Winston Company.

Sabtu, 25 April 2009

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN KOOPERATIF

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN KOOPERATIF
TIPE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS (STAD)
PADA MATERI PERSAMAAN KUADRAT DI KELAS X SMA

Syafruddin[1] *)

Abstract: The objective of this research is to produce the prototype of mathematics learning instrument with the characteristics of cooperative laerning of STAD type on the square equation subject that fulfill the criteria of valid, practical, and effective.
This research is classified as the developmental research. The model of the instrument development employed in this research referred to the 4-D model which consisted of defining stage, design stage, development stage, and dissemination stage. The development process on the first two phases produced the learning instruments (student’s book, student’s worksheet, lesson plan, and learning result test), the development on the third phase was conducted on the validation process and the instrument experiment. For the necessity of the instrument experiment, the teaching-learning was conducted by following the syntax of cooperative learning model of STAD type, and on the fourth fase was conducted by giving a socializiation to colleague teachers in several schools in order to complete the developed instruments. The subject of the research was students of SMA Negeri 1 Tanete Rilau at Class X.1 as many as 44 students.
The process of instrument development in this research has produced the prototype of mathematics learning instruments include student’s book, the lesson plan, student’s worksheet, and the learning result test on the square equation subject which have fulfilled the criteria of valid, practical, and effective.

Keywords: The development learning instrument, STAD cooperative model, square equation.

PENDAHULUAN
Pendidikan memiliki peran sentral dan strategis dalam mewujudkan sumber daya manusia yang bermutu agar mampu menguasai dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dapat menggunakannya untuk kesejahteraan bangsa.
Sejalan dengan hal ini pemerintah senantiasa berusaha meningkatkan kualitas pendidikan antara lain dengan penyempurnaan kurikulum, penyediaan buku-buku bermutu dan peningkatan pengetahuan guru melalui pelatihan-pelatiahan maupun studi lanjut. Semuanya ini bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan yang masih dirasa kurang.
Banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa. Diantaranya adalah guru dan metode pembelajaran yang digunakannya. Sampai saat ini masih banyak guru dalam proses pembelajaran hanya menyampaikan pengetahuan kepada siswa, sedangkan siswa hanya menerima apa yang disampaikan gurunya itu sendiri. Siswa diposisikan sebagai peserta didik yang tidak tahu dan hanya menunggu apa yang diberikan. Hal ini membuat siswa cenderung pasif dan proses pembelajaran membosankan.

Tabel 1. Nilai hasil belajar materi persamaan kuadrat SMA Negeri 1 Tanete Rilau kelas X tahun ajaran 2005/2006 – 2007/2008



Sumber: Data analisis ulangan harian SMA Negeri 1 Tanete Rilau

Tabel 1, menunjukkan hasil belajar siswa SMA Negeri 1 Tanete Rilau kelas X untuk mata pelajaran matematika pada meteri persamaan kuadrat sebelum diadakan pembelajaran remedial, yang masih jauh berada di bawah standar ideal kriteria ketuntasan minimal (KKM), yakni 65 yang ditetapkan sekolah. Kondisi ini disebabkan diantaranya selain proses pembelajaran yang masih didominasi oleh guru, juga dipicu oleh kurang tersedianya perangkat pembelajaran matematika yang berbasis aktivitas, sehingga siswa hanya cenderung belajar menghafal konsep atau prinsip matematika tanpa disertai pemahaman yang baik.

Tersedianya perangkat pembelajaran yang berkualitas merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang proses pembelajaran berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Menurut Nur (dalam Yusuf, 2003:5), bahwa perangkat pembelajaran memberikan kemudahan dan dapat membantu guru dalam mempersiapkan dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas. Oleh karena itu yang sangat penting dilakukan sekarang ini adalah mengembangkan perangkat pembelajaran, sekaligus melatihkan kepada guru suatu model pembelajaran yang berbasis aktivitas siswa.

Berlakunya Kurikulum 2004 Berbasis Kompetensi (KBK) yang telah direvisi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sangat dituntut keaktifan siswa dalam belajar. Proses pembelajaran tidak hanya didominasi oleh guru tetapi siswa juga aktif di dalamnya. Salah satu strategi pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif adalah pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivisme. Menurut Soedjadi (dalam Kristoforus, 2006:142) menyatakan penerapan konstruktivisme dalam proses belajar mengajar adalah siswa harus secara individual menemukan dan mentransformasikan informasi yang kompleks, memeriksa informasi yang baru dengan aturan yang ada serta merevisinya bila perlu.

Konstruktivisme menempatkan siswa pada peranan utama dalam proses pembelajaran (student centered). Peranan guru hanya bersifat fasilitator dan memiliki kewajiban dalam upaya peningkatan kualitas pembelajaran. Oleh karena itu, guru dituntut untuk selalu berinovasi dalam melaksanakan proses pembelajaran.

Salah satu model pembelajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivisme ialah pembelajaran kooperatif. Menurut Slavin (1995:5) dalam belajar kooperatif, siswa belajar dalam kelompok kecil yang bersifat heterogen dari segi tingkat prestasi, jenis kelamin, dan suku untuk saling membantu satu sama lain dalam tujuan bersama. Dengan belajar dalam kelompok kecil maka siswa akan lebih berani mengungkapkan pendapatnya dan dapat menumbuhkan rasa sosial yang tinggi.

Hasil penelitian Hulten & De Vries (dalam Kristoforus, 2006:142), menunjukkan bahwa dengan belajar kooperatif membuat anggota kelompok bersemangat belajar, kemudian Murray dalam hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa interaksi antar siswa dalam belajar dapat meningkatkan perkembangan kognitif siswa Slavin (1995:17). Hal ini didukung pula hasil penelitian Djemy Jefry (2007:217) yang menyimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan aktivitas, minat, dan hasil belajar siswa.

Dalam pembelajaran matematika di SMA kelas X, salah satu pokok bahasan yang diajarkan adalah persamaan kuadrat. Kenyataan di sekolah (tempat penelitian dilaksanakan) untuk tahun pelajaran 2007/2008, terbukti masih banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi persamaan kuadrat, rata-rata hasil ulangan harian siswa masih rendah ( = 50.80 dengan SD = 12.67). Dengan melihat nilai yang diperoleh siswa, maka sangat diperlukan suatu upaya untuk mengatasi kesulitan siswa dalam belajar matematika.

Upaya tersebut dapat dilakukan diantaranya dengan mengurangi cara belajar siswa secara individu, sebaliknya memotivasi siswa untuk belajar secara tim/kelompok dalam rangka menumbuhkan kreativitas, saling membantu dalam memahami materi sehingga ketuntasan belajar dapat tercapai. Salah satu model pembelajaran yang berorientasi belajar kelompok dan berbasis aktivitas siswa adalah pembelajaran kooperatif tipe STAD.

Pemilihan tipe STAD dalam penelitian ini karena merupakan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, sehingga cocok digunakan bagi guru-guru yang baru mulai menggunakan model pembelajaran kooperatif. Selain itu tipe ini intinya kerjasama tim/kelompok yang heterogen sehingga diharapkan siswa yang lebih mampu dari segi akademik dapat membantu anggota kelompoknya yang kurang dari segi prestasi akdemik. Menurut Slavin (1995:71) Pembelajaran kooperatif tipe STAD dalam pelaksanaannya meliputi lima komponen pokok yaitu; (1) presentasi kelas, (2) kegiatan kelompok, (3) kuis atau tes, (4) skor peningkatan individu, dan (5) penghargaan kelompok. Pembelajaran kooperatif tipe STAD bercirikan materi pelajaran yang disampaikan sederhana dan tugas utama siswa adalah menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan secara berkelompok.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian pengembangan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran matematika yang bercirikan pembelajaran kooperatif tipe STAD, yang meliputi; Buku Siswa (BS), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kegiatan Siswa (LKS), dan Instrumen Tes Hasil Belajar (THB) sebagai salah satu alternatif dalam mengatasi permasalahan pembelajaran matematika di sekolah.

Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana proses dan hasil pengembangan perangkat pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi persamaan kuadrat yang memenuhi kriteria valid, praktis, dan efektif?”

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan meliputi Buku siswa (BS), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Kegiatan Siswa (LKS), dan Tes Hasil Belajar (THB).
Prosedur Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Pengembangan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini, mengacu pada model Thiagarajan. Model ini terdiri dari 4 tahap pengembangan yaitu pendefinisian (define), perancangan (design), pengembangan (develop), dan penyebaran (dessiminate).

Instrumen Penelitian


Instrumen pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
1. Lembar pengamatan aktivitas siswa. Instrumen ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung yang dilakukan oleh 2 orang pengamat. Pengamatan dilakukan terhadap 2 kelompok (terdiri dari 2 siswa kemampuan atas, 4 siswa kemampuan sedang, 2 siswa kemampuan rendah) dalam setiap kali pembelajaran untuk aktivitas dominan yang muncul dalam setiap 5 menit.
2. Lembar pengamatan keterlaksanaan perangkat pembelajaran. Instrumen ini digunakan untuk memperoleh data lapangan tentang kepraktisan perangkat pembelajaran. Data diperoleh melalui 2 orang pengamat yang mengadakan pengamatan terhadap guru yang melaksanakan pembelajaran di kelas.
3. Lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran. Instrumen ini digunakan untuk mengumpulkan data tentang kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran. Data tersebut diperoleh dengan cara melakukan pengamatan terhadap guru atas kemampuannya menerapkan rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disusun. Pengamatan ini dilakukan oleh 2 orang pengamat.
4. Angket respon siswa. Instrumen ini digunakan untuk menjaring pendapat siswa terhadap perangkat pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dikembangkan.
Gambar 1. Modifikasi model pengembangan perangkat pembelajaran (Thiagarajan, Semmel dan Semmel, 1974)



Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik deskriptif. Uraian singkat tentang teknik analisis beserta kriteria yang menjadi acuan hasil analisis masing-masing jenis data adalah sebagai berikut:
1. Analisis data kevalidan perangkat pembelajaran. Kriteria yang digunakan untuk memutuskan bahwa perangkat pembelajaran memiliki derajat validitas yang memadai adalah nilai untuk keseluruhan aspek minimal berada dalam kategori cukup valid dan nilai untuk setiap aspek minimal berada dalam kategori valid. Jika tidak demikian, maka perlu dilakukan revisi berdasarkan saran dari para validator.

2. Analisis data kepraktisan perangkat pembelajaran. Proses analisis data keterlaksanaan perangkat pembelajaran adalah mencari rerata hasil pengamatan dua pengamat untuk setiap kriteria ( ), setiap aspek ( ), dan total ( ), selanjutnya menentukan kategori validitas setiap kriteria, validitas setiap aspek, dan validitas total berdasarkan kriteria sebaga berikut:
terlaksana seluruhnya
terlaksana sebagian
tidak terlaksana
Keterangan:
, untuk mencari validitas setiap aspek.
, untuk mencari validitas keseluruhan aspek.

Kriteria yang digunakan untuk memutuskan bahwa perangkat pembelajaran memiliki derajat keterlaksanaan yang memadai adalah , dan menimal berada dalam kategori terlaksana sebagian, berarti perangkat pembelajaran tidak direvisi. Apabila nilai M berada di dalam kategori lainnya, maka perlu dilakukan revisi dengan melihat aspek-aspek yang nilainya kurang.

3. Analisis data keefektifan perangkat pembelajaran. Analisis data keefektifan perangkat pembelajaran didukung oleh hasil analisis data dari 4 komponen keefektifan, yaitu: (1) tes hasil belajar. (2) aktivitas siswa, (3) respon siswa terhadap perangkat pembelajaran, dan (4) data hasil analisis kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe STAD.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Hasil Ujicoba Lapangan
Ujicoba lapangan bertujuan untuk memperoleh masukan langsung dari lapangan terhadap perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Dalam ujicoba ini yang diamati adalah keterlaksanaan perangkat pembelajaran, kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan aktivitas siswa.

a. Analisis kepraktisan
Tujuan utama analisis data keterlaksanaan perangkat hasil uji coba adalah untuk melihat tingkat keperaktisan perangkat.
Hasil ujicoba untuk melihat keterlaksanaan perangkat dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Hasil pengamatan keterlaksanaan perangkat pembelajaran



Secara keseluruhan, analisis tentang keterlaksanaan perangkat pembelajaran kooperatif tipe STAD yang dilakukan untuk melihat sejauh mana kepraktisan perangkat pembelajaran yang telah dirancang, menghasilkan data bahwa percentage of agreement sebesar 88.90%. Selanjutnya dari nilai rata-rata pengamatan sebesar = 1,8 dapat dikatakan bahwa derajat keterlaksanaan perangkat memadai karena berada pada kategori terlaksana seluruhnya.

b. Analisis Keefektifan
Analisis keefektifan perangkat pembelajaran kooperatif tipe STAD ditentukan oleh 4 hal, yaitu: (1) tes hasil belajar, yakni pembelajaran dikatakan berhasil secara klasikal jika minimal 80% siswa mencapai skor minimal 65, (2) aktivitas siswa ideal, apabila enam dari tujuh kriteria batas toleransi pencapaian waktu ideal yang digunakan dipenuhi, dengan catatan kegiatan ketiga (mengerjakan LKS) harus dipenuhi, (3) respons siswa positif terhadap perangkat pembelajaran, apabila lebih dari 50% siswa memberi respons positif terhadap minimal 70% jumlah aspek yang ditanyakan, dan (4) kemampuan guru mengelola pembelajaran memadai, apabila nilai KG minimal berada dalam kategori tinggi.
Berikut ini akan dijelaskan hasil uji data keefektifan perangkat pada tiap ujicoba yang dilaksanakan.

1) Tes Hasil Belajar
Selanjutnya yang menjadi indikator dalam menganalisis hasil belajar siswa adalah tes hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Frekuensi skor hasil belajar siswa



Dari tabel di atas menunjukkan bahwa nilai siswa yang mengikuti pembelajaran kooperatif tipe STAD untuk materi persamaan kuadrat berada dalam batas tuntas secara individu dengan batas KKM 65. Dari tabel di atas juga terlihat bahwa skor maksimal yang diperoleh siswa adalah 100 sedangkan skor terendah adalah 67. Atau dengan kata lain, hasil belajar siswa dengan menggunakan perangkat pembelajaran kooperatif tipe STAD memenuhi kriteria keefektifan yang telah ditetapkan.

2) Aktivitas Siswa
Hasil penelitian tentang aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kelompok tipe STAD, dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4. Rata-rata persentase waktu aktivitas siswa selama pembelajaran kooperatif tipe STAD



Berdasarkan hasil ujicoba yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa untuk setiap kegiatan yang telah ditentukan beserta dengan waktu idealnya, siswa telah melaksanakan pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan baik. Terlihat dari rata-rata persentase waktu yang dihabiskan oleh siswa dalam aktivitas pembelajaran berada dalam rentang waktu ideal yang bisa ditoleransi, terutama untuk kegiatan 3 dimana kegiatan tersebut merupakan kegiatan inti dari pembelajaran kooperatif tipe STAD.

3). Respons siswa
Respons siswa terhadap perangkat pembelajaran di bagi dalam 3 aspek, yaitu: respons terhadap buku siswa, respons terhadap LKS, dan respon terhadap pembelajaran.
Data tentang respon siswa terhadap pembelajaran, buku siswa dan terhadap LKS dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5. Persentase respons siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe STAD



Keterangan : S = senang, TS = tidak senang, B = baru, TB = tidak baru.
1 = Materi pelajaran 3 = Buku siswa
2 = LKS 4 = cara belajar 5 = cara guru mengajar

Berdasarkan uraian pada tabel di atas, diketahui bahwa 96.36% siswa senang belajar dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD. Demikian pula terhadap perangkat pembelajaran (buku siswa dan LKS), rata-rata 77.27% siswa menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD ini baru bagi mereka, termasuk materi, buku siswa, dan LKS. Sebagian besar siswa berminat untuk mengikuti kegiatan belajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Sebagian besar pula siswa dapat memahami bahasa yang digunakan dalam buku siswa dan LKS. Demikian pula untuk penampilan buku siswa dan LKS, siswa menyatakan tertarik.
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa respon siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah positif.

4). Kemampuan guru mengelola pembelajaran
Pengelolaan pembelajaran diketahui dari hasil analisis instrumen tentang kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe STAD. Rangkuman dari lampiran tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 6. Hasil pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran



Secara keseluruhan dari aspek 1 sampai aspek 6, rata-rata pengamatan observer tentang kemampuan guru dalam proses belajar mengajar, yakni 3.7 atau senilai 94.3%. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe STAD berada dalam kategori tinggi.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan penelitian yang telah dikemukakan, serta dihubungkan dengan pertanyaan penellitian, maka dapat disimpulkan beberapa hal pokok yang berkaitan dengan pengembangan perangkat pembelajaran kooperatif tipe STAD sebagai berikut.

1. Proses pengembangan perangkat menggunakan model pengembangan perangkat Thiagarajan yang terdiri dari 4 fase yaitu (1) pendefinisian (define), (2) perancangan (design), (3) pengembangan (develop), dan (4) penyebaran (dessiminate). Proses pengembangan pada dua fase pertama menghasilkan perangkat pembelajaran (buku siswa, lembar kegiatan siswa, dan rencana pelaksanaan pembelajaran), pengembangan pada fase ketiga melakukan proses validasi dan uji coba. Untuk keperluan uji coba perangkat dilakukan pembelajaran dengan mengikuti sintaks model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Sedangkan fase ke empat dilakukan sosialisasi terhadap teman guru di beberapa sekolah guna penyempurnaan perangkat yang dikembangkan.

2. Hasil pengembangan perangkat yang dicapai yaitu; (1) valid berdasarkan penilaian ahli dan praktisi dengan sedikit revisi, (2) praktis, karena semua aspek diamati berada dalam kategori terlaksana seluruhnya, dan (3) efektif karena katuntasan klasikal telah tercapai, aktivitas siswa sudah sesuai yang diharapkan, kemampuan guru mengelola pembelajaran dalam kategori tinggi, dan respon siswa terhadap pembelajaran dalam kategori positif.

Saran-saran

Berdasarkan hasil dan temuan yang diperoleh dalam penelitian ini, dikemukakan beberapa saran sebagai berikut.
1. Penelitian ini sudah menghasilkan perangkat pembelajaran yang valid, praktis, dan efektif. Oleh karena itu, disarankan kepada guru matematika untuk dapat menggunakan perangkat ini pada materi persamaan kuadrat.
2. Untuk keperluan pengembangan selanjutnya, guru diharapkan dapat mengembangkan sendiri perangkat pembelajaran (buku siswa, LKS, dan RPP) yang disesuaikan dengan pembelajaran kooperatif tipe STAD.
3. Bagi peneliti yang berminat melakukan penelitian pengembangan perangkat agar mencermati segala kelemahan dan keterbatasan penelitian ini, sehingga penelitian yang dilakukan dapat menghasilkan perangkat yang lebih berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA

Arends, Richard I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: McGraw Hill Companies, Inc.
______, R. I. 2000. Learning to Teach. New York: McGraw Hill Companies.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). 2006. Tentang Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika untuk Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). 2007. Tentang Model Penilaian Kelas Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Borich, G.D. 1994. Observation Skill for Effective Teaching. New York: Macmillan Publishing Company.
Dadi Permana, A. 2005. Mudah dan Aktif Belajar Matematika untuk Kelas X SMA/MA. Jakarta: Setia Purna Inves.
Jefri, Djemy. 2007. “Pembelajaran Kooperatif STAD dan Turnamen TGT untuk meningkatkan Minat dan Prestasi pada Pola dan Deret Bilangan”. Ilmu Kependidikan No. 3. hlm. 205-218.
Karim, Abdul. 2003. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Pokok Bahasan Kubus dan Balok Kelas 1 SLTP Model Kooperatif Tipe STAD dengan Laboratorium Mini. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: PPs UNESA.
Kristoforus Djawa Djong. 2006. “Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk Pokok Bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel di Kelas VIII SMPK St Theresia.” Mathedu No. 2 hlm. 141-149.
Luddy Bambang Sasongko. 2004. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD pada Materi Relasi, Fungsi, dan Grafiknya. Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: PPs UNESA.
Ngalim Purwanto, MP. 2008. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nurdin. 2007. Model Pembelajaran Matematika yang Menumbuhkan Kemampuan Metakognitif untuk Menguasai Bahan Ajar. Ringkasan Disertasi tidak diterbitkan. Surabaya: PPs UNESA.
Nur, M. dkk. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Edisi Pertama. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa.
Nur, M. dan Wikandari, P. R. 2004. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Unesa Pusat Sain dan Matematika Sekolah.
Ratumanan, T. G. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Surabaya: Unesa University Press.
Slavin. 1995. Cooperatif Learning Theory. Second Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon Publisher.
_____. 2000. Educational Psychology, Theory and Practice. Needham Heights: Allyn & Bacon.
Sri Kurnianingsih, dkk. 2007. Matematika SMA dan MA untuk Kelas X Semester 1. Jakarta: Erlangga.
Sudjana, Nana. 2008. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sukino. 2007. Matematika untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
Sunardi, H. dkk. 2008. Matematika 1 SMA/MA. Jakarta: Bumi Aksara.
Suradi. 2005. Interaksi Siswa SMP dalam Pembelajaran Matematika Secara Kooperatif. Disertasi. Surabaya: PPs UNESA.
Thiagarajan, S. Semmel dan Semmel. 1974. Instructional Development For Training Teacher of Exceptional Children. Minnesota: Indiana University
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka
Widyantini, Th. 2006. Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kooperatif. Yogyakarta: Depdiknas.
Yusuf. 2003. Kualitas Proses dan Hasil Belajar Biologi Melalui Pengajaran dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Madrasah Aliyah Ponpes Nurul Haramain Lombok Barat NTB. Tesisi tidak diterbitkan. Surabaya: PPs UNESA.

[1] Alumni Prodi Pendidikan Matematika PPs UNM Makassar dan Guru SMA Negeri 1 Tanete Rilau Kabupaten Barru Sulawesi Selatan

Minggu, 08 Maret 2009

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MATERI BANGUN RUANG
SISI LENGKUNG BERBASIS KONSTRUKTIVISTIK PADA SISWA
KELAS IX SMP NEGERI 1 BUNGORO PANGKEP


Trisdyanto[1]

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan bahan ajar materi bangun ruang sisi lengkung berbasis konstruktivistik yang valid, praktis, dan efektif, meliputi Buku Siswa, Lembar Kegiatan Siswa (LKS), dan Buku Panduan Guru. Adanya bahan ajar berbasis konstruktivistik diharapkan dapat menciptakan situasi pembelajaran yang memungkinkan siswa lebih banyak mengonstruk pengetahuannya secara personal atau sosial. Penelitian ini adalah penelitian pengembangan (Research and Development) yang menggunakan metode deskriptif dan evaluatif, dan melalui uji coba pengembangan yang merujuk pada model Four-D Thiagarajan dkk. (1974), dengan tahapan define, disign, develop, dan disseminate. Bahan ajar memenuhi kriteria kevalidan, memenuhi kriteria kepraktisan pada kedua uji coba, dan memenuhi kriteria keefektifan pada uji coba kedua. Dengan demikian pengembangan mendapatkan bahan ajar materi bangun ruang sisi lengkung berbasis kosntruktivistik yang valid, praktis, dan efektif. Penyebaran bahan ajar dilakukan terhadap guru-guru matematika dalam forum MGMP Matematika SMP Kab. Pangkep dan memenuhi kriteria keefektifan disseminate.

Kata kunci: Bahan ajar, bangun ruang sisi lengkung, berbasis konstruktivistik

PENDAHULUAN
Secara konseptual pendidikan pada jenjang sekolah dilakukan dengan basis pembelajaran, diarahkan pada pencapaian kompetensi peserta didik yang diukur berdasarkan kualifikasi lulusan yang berupa standar kompetensi lulusan. Perjalanan menuju pencapaian standar kompetensi lulusan harus ditempuh melalui serangkaian pembelajaran yang diorientasikan pada pencapaian standar kompetensi yang dijabarkan ke dalam kompetensi dasar dan diukur berdasarkan indikator-indikator yang mendukung kompetensi dasar dan standar kompetensi tersebut.

Pembelajaran matematika merupakan bentuk pendidikan pada matapelajaran matematika yang diimplementasikan pada jenjang pendidikan dasar hingga menengah, yaitu salah satu bentuk pendidikan yang menggunakan matematika sebagai wahana pendidikan untuk mencapai tujuan (Soedjadi, 2000:6). Sebagai wahana dalam pendidikan, pembelajaran matematika pada jenjang SMP dilaksanakan dengan tujuan agar obyek-obyek matematika menjadi bagian dalam diri peserta didik, sehingga siswa mampu dalam memahami, mengaitkan dan mengaplikasikan konsep-konsep matematika dalam pemecahan masalah, menggunakan penalaran untuk membuat generalisasi dan menjelaskan gagasan, memecahkan masalah melalui penyusunan rancangan model matematika, penyelesaian dan penafsiran solusi, dan mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah (Depdiknas, 2006:346).

Pencapaian idealisme di atas, secara konseptual dapat ditempuh dengan melakukan pemikiran dan implementasi secara konsisten komponen-komponen pembelajaran matematika sebagai sebuah sistem pembelajaran sedemikian hingga pencapaian kompetensi lulusan dapat memuaskan semua pihak.

Namun demikian, beberapa informasi dan kondisi pembelajaran matematika dan dampaknya masih menggambarkan suatu kondisi hasil pembelajaran yang belum menggembirakan. Sampai saat ini masih banyak pihak yang belum puas terhadap hasil pembelajaran matematika di sekolah, baik ditinjau dari proses pembelajarannya maupun dari hasil belajar siswa (Pambudi, 2007:39). Berikut adalah statistik UAN matapelajaran Matematik SMP Negeri/Swasta secara nasional tahun 2006/2007.

Tabel 1. Statistik nilai UAN Murni SMP Negeri/Swasta Nasional


Sumber: Statistik nasional perolehan ujian Nasional SMP Negeri/Swasta 2006/2007 (BSNP)

Statistik di atas menunjukkan bahwa rata-rata perolehan matematika kurang memuaskan, keragaman tertinggi, dan nilai terendah pada posisi terendah. Beberapa faktor penyebab kondisi itu adalah dari faktor proses pembelajaran yang dilakukan guru, faktor masukan instrumental, dan faktor siswa sendiri yang masih belum siap mengikuti pembelajaran untuk menyerap dan mengolah pengetahuan barunya, disamping minimnya penguasaan ketrampilan dalam matematika. Schoenfield dan Taylor dalam Pambudi (2007:39) melaporkan bahwa kegagalan siswa dalam menguasai matematika di sekolah disebabkan kurang baiknya proses pembelajaran yang dilakukan guru. Disamping itu, banyak terjadi dalam pembelajaran matematika, guru lebih menekankan mengajarkan matematika sebagai alat, guru memberi tahu atau menunjukkan alat itu, bagaimana alat itu dipakai, bagaimana anak menggunakannya, tanpa tahu bagaimana alat itu dibuat atau pun tanpa mengkritisi mengapa alat itu dipakai (Soedjadi, 2007:7).

Pada sisi lain pembelajaran, sering dikemukakan bahwa kelemahan dalam pendidikan atau pembelajaran biasa diasosiasikan dengan kualitas guru sebagai penyampai matapelajaran, padahal ada variabel-variabel lain yang tidak kalah pentingnya, terutama dalam paradigma pendidikan yang akhir-akhir ini bergeser kepada peserta didik sebagai pusat pembelajaran. Pendidikan berfokus pada peserta didik yang menekankan pada keaktifan peserta didik menuntut peran buku sebagai sumber informasi menjadi sangat penting (Muljono (2007:14). Pernyataan Muljono tersebut menjelaskan bahwa masukan isntrumental pembelajaran, penyediaan dan pemanfaatan sumber-sumber belajar juga menentukan keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran. Sementara kondisi yang ada menunjukkan bahwa (1) buku kurikulum, yang menyajikan hanya dalam bentuk SK dan KD, (2) buku teks yang sangat beragam, (3) media masa yang belum optimal pemakaiannya, (4) dalam internet dan tidak semua peserta didik mampu memanfaatkannya, (5) lingkungan alam yang belum banyak disadarinya, disamping itu, ketersediaan sumber belajar dalam jumlah terlalu banyak dan tersebar, membuat guru atau siswa bingung bagaimana memanfaatkannya secara optimal mencapai kompetensi siswa yang ditetapkan kurikulum, bahan ajar yang ada menyajikan materi ajar terlalu luas atau terlalu sedikit, terlalu dalam atau terlalu dangkal, jenis materi kurang sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai, pergantian buku sumber belajar terlalu sering, yakni setiap ganti semester atau tahun berganti pula buku teks pelajaran (Depdiknas, 2006b:1; Depdiknas, 2008a:8-9).

Sementara itu realitas pembelajaran berdasarkan pengamatan dan pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu memahami permasalahan matematika yang direpresentasikan dalam soal yang pemecahannya memerlukan tingkat berpikir tinggi seperti analisis, sintesis dan evaluasi. Daya serap siswa dalam proses pembelajaran rendah mengindikasikan rendahnya pengetahuan awal yang seharusnya siap dan dapat diasosiasikan dengan pengetahuan barunya yang sedang dipelajari. Sebagian besar siswa kurang ramah dengan objek-objek matematika yang meliputi fakta, konsep, prinsip, dan prosedur. Kebanyakan siswa kurang mampu mengeksplorasi kemampuan dirinya dalam belajar, yang dimungkinkan karena pola kebiasaan pembelajaran yang lebih banyak memberikan pengetahuan jadi daripada menemukan sendiri atau dengan bimbingan. Pemahaman konsep matematika masih rendah, dengan indikasi bahwa ketika diberikan soal matematika sebagian besar siswa tidak tahu bagaimana memulai memecahkannya, bahkan tidak jarang siswa tidak mengenal topik atau konsep-konsep yang disajikan dalam soal.

Uraian di atas mendeskripsikan bahwa lemahnya pembelajaran dan hasil belajar matematika siswa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu penyediaan dan pemanfaatan sumber-sumber belajar belum optimal, proses pembelajaran yang cenderung memberikan pengetahuan jadi (final) kepada siswa daripada memberikan kesempatan siswa membangun pengetahuannya sendiri, dan lemahnya aktualitas siswa dalam proses pembelajaran. Untuk itu, alternatif penyelesaian masalah tersebut adalah melakukan penyediaan dan penggunaan bahan ajar dalam proses pembelajaran yang memungkinkan siswa lebih dominan dan aktif membangun pengetahuannya sendiri dalam lingkungan belajar yang sesuai, yakni mengembangkan bahan ajar berbasis konstruktivistik, khususnya pada materi bangun ruang sisi lengkung yang valid, praktis, dan efektif.

Adanya bahan ajar berbasis konstruktivistik diharapkan dapat membantu siswa mengonstruk pengetahuan dan pengalaman ke dalam struktur kognitifnya pada proses belajar atau pembelajaran. Belajar sebagai bentuk aktivitas mengonstruksi pengetahuan dalam struktur kognitif, menurut Bruner dapat berjalan dengan baik apabila proses belajar melalui tahapan belajar enaktif, ikonik, dan simbolik (Suherman dkk., 2001:45). Mendukung proses belajar anak, Bruner membuktikan beberapa dalil, yaitu penyusunan, kekontrasan dan keanekaragaman, notasi, dan pengaitan (Suherman dkk., 2001:45). , Sementara Piaget dan Ausubel menyatakan bahwa konstruksi pengetahuan baru seorang individu dapat berjalan dengan mudah apabila ada konektivitas atau keterkaitan antara pengetahuan yang akan dikonstruksi dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya, yang dikatakan Ausubel sebagai bentuk belajar bermakna (Depdiknas, 2005b:4; Dahar, 1988:137, 143).

Belajar matematika dalam pandangan Freudenthal merupakan sebuah aktivitas manusia dan bukan sekedar sebagai alat yang siap pakai (Freudenthal, 1991:14). Sebagai manusia yang belajar, anak belajar matematika melalui aktivitas dalam kelompok sosialnya yang menuntut interaksi dengan lingkungannya. Untuk ini Piaget (Trianto, 2007b:14) memandang bahwa perkembangan kognitif anak sebagai proses secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman dan interaksi-interaksi mereka. Sedangkan interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya membuat pemikiran itu menjadi lebih logis (Nur dalam Trianto, 2007b:14). Sedangkan fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya bisa muncul apabila belajar dilakukan dalam percakapan dan kerjasama antar individu (Vygotsky dalam Trianto, 2007b:27).

Vygotsky memandang belajar sebagai suatu proses perkembangan pengertian dari pengertian spontan menjadi pengertian ilmiah (Fosnot, 1996 dalam Suparno, 1997:45). Untuk mendapatkan pengertian ilmiah, Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dengan orang-orang lain terlebih yang punya pengetahuan lebih baik dan sistem yang secara kultural telah berkembang dengan baik (Cobb, 1996 dalam Suparno, 1997:46). Ini berarti Vygotsky menekankan dialog dan komunikasi verbal dengan orang dewasa dalam perkembangan pengertian anak, sehingga anak ditantang untuk lebih mengerti pengertian ilmiah dan mengembangkan pengertian spontan mereka (Suparno, 1997:46).

Dalam pandangan konstruktivisme, belajar sebagai proses konstruksi pengetahuan tidak dapat dengan cara pemindahan pengetahuan dari pikiran seorang guru kepada murid, tetapi harus melalui interpretasi dan konstruksi oleh murid sendiri melalui pengalamannya (Von Glaserfeld dalam Suparno, 1996). Untuk proses pembentukan pengetahuan dalam struktur kognitif, von Glaserfeld menyebutkan kemampuan yang diperlukan dalam proses konstruksi pengetahuan, yaitu kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan kemampuan lebih menyukai suatu pengelaman yang satu dari lainnya (Suparno, 1996).

Beberapa pernyataan teori para ahli, pendapat pakar, dan pandangan konstruktivisme berimplikasi pada proses belajar dan pembelajaran matematika yang menjadi dasar dalam perancangan bahan ajar dan pengujiannya dalam proses pembelajaran matematika, yang memiliki pola-pola, karakteristik, dan model pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme.

Berdasarkan pandangan konstruktivisme, sebuah model pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme telah oleh Sa’dijah (2006:111-122). Beberapa ahli, seperti: Horsley, Tobin dan Timon, Yager (dalam Hamzah, 2003:7-8), dan Dahar (1988:193) mengemukakan pola pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme , yaitu: (1) penggalian konsepsi awal, (2) penggalian ide abstrak dari obyek nyata melalui pengamatan, manipulasi, eksplorasi, atau eksperimen, (3) interaksi antar individu untuk menyusun persetujuan berdasarkan temuan masing-masing individu, (4) pemantapan konsep melalui penerapan.

Pola-pola di atas dikembangkan dalam pembelajaran yang memiliki karakteristik: (1) pengaitan pengetahuan awal siswa, (2) pengintegrasian situasi realistik yang relevan, (3) penyediaan alternatif pengalaman belajar, (4) interaksi dan kerjasama dengan orang lain dan lingkungan, (5) penggunaan berbagai representasi/media, (6) peningkatan kesadaran melalui refleksi diri (Sa’dijah, 2006:113-114).
Keenam karakteristik pembelajaran di atas dikemas dalam sintaks pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang meliputi fase-fase: (1) kesadaran, (2) operasional, (3) penyusunan persetujuan, (4) reflektif, dan kegiatan mediatif yang terintegrasi pada semua fase (Sa’dijah, 2006:113) sebagai model pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme.

Sesuai pola-pola, karakteristik, dan sintaks pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme di atas, maka bahan ajar materi bangun ruang sisi lengkung berbasis konstruktivistik dirancang dengan memperhatikan berbagai teori belajar dan pandangan para ahli. Pemilihan materi dengan pertimbangan bahwa materi bangun ruang sisi lengkung memiliki karakteristik yang cocok dengan fokus pengembangan yaitu berbasis konstruktivistik, yakni menggunakan pandangan konstruktivisme dalam penyusunan bahan ajar dan implementasi pembelajarannya. Disamping itu, materi bangun ruang sisi lengkung memiliki jenis materi (fakta, konsep, prinsip, dan prosedur dengan keterkaitan antar konsep yang jelas, namun masih dirasakan sulit bagi siswa dalam memahami dan menggunakannya dalam menyelesaikan masalah. Dengan demikian pengembangan bahan ajar materi bangun ruang sisi lengkung berbasis konstruktivistik adalah satu solusi pilihan yang ditindaklanjuti dalam kerangka penelitian pengembangan bahan ajar.

Sesuai uraian masalah di atas, pertanyaan penelitian adalah bagaimanakah proses dan hasil pengembangan bahan ajar materi bangun ruang sisi lengkung berbasis konstruktivistik yang valid, praktis, dan efektif? Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan bahan ajar materi bangun ruang sisi lengkung berbasis konstruktivistik yang valid, praktis, dan efektif.

METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian dilaksanakan dalam kerangka penelitian pengembangan (Research and Development), yang menghasilkan produk pengembangan yang berupa Buku Siswa (BS), Lembar Kegiatan Siswa (LKS), dan Buku Panduan Guru (BPG), yang memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan (Nieveen, 1999 dalam Nurdin, 2007:105; Trianto, 2007b:8).

2. Metode dan Prosedur Pengembangan
Pengembangan dilakukan menggunakan metode deskriptif dan evaluatif, yakni mendeskripsikan kondisi awal bahan ajar yang sudah ada sebagai bahan perbandingan bagi pengembangan produk baru, kondisi pengguna bahan ajar, dan faktor-faktor pendukung dan penghambat pengembangan. Pemilihan metode ini dengan pertimbangan bahwa fokus penelitian adalah pada pengembangan bahan ajar dimana uji coba cukup dilakukan pada sekelompok subjek tanpa harus membandingkan dengan kelompok lainnya sebagai kontrol, tetapi dengan ujicoba dan evaluasi hingga didapatkan produk pengembangan yang memenuhi kriteria yang ditetapkan.

Prosedur pengembangan dilakukan merujuk pada model model pengembangan Thiagarajan dkk. (1974), yang meliputi 4 tahapan utama, yaitu define, design, develop, dan disseminate. Namun demikian untuk kepentingan penelitian, ada beberapa penyesuaian yang perlu dilakukan, sehingga proses pengembangan lebih sesuai dengan fokus penelitian. Pemilihan model pengembangan dengan pertimbangan bahwa model Thiagarajan dkk. (1974) pada bukunya yang berjudul “Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children.” membahas secara khusus bagaimana mengembangkan bahan ajar dan bukan pada rancangan pengajarannya. Namun demikian, dimungkinkan pengembang melakukan pemilihan format pembelajaran yang sesuai guna mendukung uji pengembangan.

Untuk kepentingan penelitian, modifikasi model pengembangan dilakukan sebagai berikut:

a. Analisis konsep dan analisis tugas semula dalam posisi paralel, diubah dengan hierarki analisis konsep kemudian dilanjutkan analisis tugas. Perubahan ini dengan melihat bahwa analisis tugas dapat dengan mudah dilakukan dengan melihat hasil analisis konsep. Matematika dengan materinya yang terstruktur memiliki urutan yang hirarkis, sehingga urutan tugas-tugas bergantung pada urutan konsep.

b. Istilah analisis konsep diganti dengan analisis materi. Hal ini dilakukan dengan pemikiran bahwa materi memiliki cakupan lebih luas dari pada konsep. Materi matematika mencakup objek-objek fakta, konsep, prinsip, prosedur.

c. Untuk memudahkan pelaksanaan pada tahapan pengembangan melalui uji pengembangan, penelitian diawali dengan melakukan simulasi untuk mengetahui keterbacaan rancangan bahan ajar dan mengetahui secara dini gambaran pelaksanaan pengujian bahan ajar pada situasi yang sebenarnya. Dengan ini, dapat diperoleh beberapa informasi mengenai kemampuan siswa memahami bahan ajar berdasarkan aspek kebahasaannya, keluasan tugas-tugas belajar, efisiensi penggunaan waktu kegiatan pembelajaran, dan kekurangan lainnya pada sisi guru sebagai pengelola pembelajaran. Hasil kegiatan ini sebagai bahan evaluasi dan revisi bahan ajar sebelum diujikan secara aktual pada dsubjek uji coba.
Secara rinci tahapan-tahapan pengembangan dengan modifikasinya disajikan dalam bagan di halaman selanjutnya.

3. Subjek Uji Coba
Uji pengembangan dilakukan pada subjek kelas IX-C dan IX-A SMP Negeri 1 Bungoro Pangkep. Uji coba dilakukan pada semester pertama tahun pelajaran 2008/2009. Subjek uji coba ditetapkan dengan pertimbangan bahwa kelas IX-C sebagai salah satu kelas yang memiliki karakreristik tingkat pengetahuan awal rendah diantara kelas-kelas lainnya. Sedangkan kelas IX-A sebagai subjek uji coba dengan pertimbangan bahwa kelas tersebut miliki karakteristik tingkat pengetahuan awal sedang, yang berbeda dari kelas lainnya.

4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Data-data penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen pengumpulan data, dan teknik analisis data secara ringkas disajikan dalam matrik analisis berikut.
Tabel 2. Teknik pengumpulan, instrumen, dan analisis data penelitian



HASIL PENELITIAN
1. Rancangan Bahan Ajar
a. Buku Siswa


Buku siswa sebagai salah satu prototipe bahan ajar yang bersifat konstruktivistik disusun dengan judul “Membangun Pengetahuan Matematika Materi Bangun Ruang Sisi Lengkung” untuk SMP/MTs. dan yang sederajat. Judul ini dimaksudkan agar anak dapat mengonstruksi pengetahuannya, yaitu pengetahuan deklaratif, pengetahuan prosedural, dan pengetahuan kondisional dalam struktur kognitifnya melalui berbagai kegiatan konstruksi pengetahuan yang dilaksanakan secara kontinyu dan konsisten dalam pembelajaran yang menggunakan model, pendekatan, metode yang relevan.
Buku siswa sebagai salah satu format prototipe bahan ajar disusun dengan struktur atau muatannya yang meliputi: (1) ilustrasi awal, (2) sajian yang menggugah pengetahuan awal, (3) langkah-langkah penemuan konsep atau prinsip, (4) pengembangan contoh, (5) soal-soal latihan, (6) pertanyaan refleksi, (7) sajian untuk menyusun ringkasan, (8) kerangka peta konsep, (9) pendalaman konsep, prinsip, dan prosedur dengan soal latihan yang lebih variatif.

b. Lembar Kegiatan Siswa (LKS)

Lembar Kegiatan Siswa (LKS) sebagai salah satu jenis bahan ajar cetak yang disusun dengan basis konstruktivistik dan mengacu pada pedoman penyusunan bahan ajar, memiliki struktur: Judul LKS, petunjuk bagi siswa, Kompetensi Dasar yang akan dicapai, informasi pendukung, tugas atau langkah kerja, dan penilaian. Esensi LKS sebagai bahan ajar cetak yang bersifat konstruktivistik adalah rancangan tugas-tugas atau langkah kegiatan yang disusun secara rinci agar siswa dapat melakukan kegiatan atau aktivitas matematika secara mandiri, sehingga konstruksi pengetahuan secara sosial dan akhirnya personal dengan sesedikit mungkin atau tanpa bantuan guru hingga ditemukan pengetahuan konseptual dapat dilakukan siswa.
Prinsip keterkaitan antar konsep sangat dominan dalam penyusunan rincian tugas dan langkah kegiatan, sehingga memungkinkan siswa melakukan pengaitan dan elaborasi/organisasi konsep-konsep pendukungnya hingga didapatkan konsep baru yang menjadi tujuan belajar.

c. Buku Panduan Guru

Buku panduan guru adalah buku pendidik yang diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap pembelajaran bahan ajar dan memandu guru dalam melaksanakan penciptaan situasi dan pengelolaan pembelajaran. Struktur buku panduan guru diawali dengan rasionalitas penyusunan, dan selengkapnya memuat prinsip-prinsip pembelajaran, model pembelajaran, prosedur pembelajaran, deskripsi materi pelajaran dalam bahan ajar (Depdiknas, 2008b). Buku panduan guru disusun untuk memenuhi aspek penting dalam pengembangan bahan ajar, yaitu bagaimana perlakuan terhadap bahan ajar yang telah dipilih dan disusun, agar interaksi materi pelajaran dan siswa dapat berjalan semestinya.

Prinsip-prinsip pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme disarikan dari Suparno (1997), merupakan sejumlah prinsip yang harus dipahami dan dilaksanakan guru sebagai seorang guru konstruktivis. Model pembelajaran dalam buku panduan guru menguraikan pola pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme (Horsley, 1990; Tobin dan Timon, Yager dalam Hamzah, 2003:7; Dahar, 1988:193), karakteristik pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme (Sa’dijah, 2006:113), dan sintaks pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme (Sa’dijah, 2006:116-117). Prosedur pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme menguraikan metode dan pendekatan pembelajaran, rencana pelaksanaan pembelajaran, dan deskripsi materi ajar berupa kunci buku siswa dan kunci LKS.

2. Tahap Pengembangan

Tahap pengembangan meliputi dua kegiatan, yaitu validasi rancangan awal bahan ajar oleh ahli dan praktisi, kemudian dilanjutkan kegiatan uji pengembangan bahan ajar dalam pembelajaran. Validasi bahan ajar dilakukan untuk mendapatkan hasil penilaian hingga memenuhi kriteria kevalidan bahan ajar.

a. Uji Kevalidan
Hasil validasi dua orang ahli dan seorang praktisi, diperoleh rata-rata skor hasil penilaian sebagai berikut

Tabel 3. Hasil analisis data kevalidan



Keterangan:
d(A) = derajat agreements validator

Rata-rata skor validasi bahan ajar dan buku panduan guru menunjukkan bahwa ketiganya memenuhi kriteria kevalidan dan memiliki derajat agreements sangat tinggi. Ini berarti bahan ajar memiliki tingkat kevalidan minimal valid dan reliabilitas yang sangat tinggi.

b. Uji Kepraktisan
Penilaian secara umum terhadap semua rancangan prototipe bahan ajar, pada umumnya validator menyatakan bahwa rancangan bahan ajar dan buku panduan guru dapat digunakan dengan revisi kecil atau tanpa revisi. Ini berarti bahwa secara rasional bahan ajar memenuhi kriteria kepraktisan. Kepraktisan secara empiris dilakukan melalui uji keterlaksanaan bahan ajar dan buku panduan guru dalam proses pembelajaran sebagai uji pengembangan.
Hasil pengamatan keterlaksanaan bahan ajar pada uji coba dalam pembelajaran selama dua kali masing-masing dengan rata-rata total skor pengamatan seluruh aspek sebesar 1,60 dan 1,80. Rata-rata tersebut mengindikasikan bahwa dua kali uji coba keterlaksanaan menunjukkan bahan ajar terlaksana seluruhnya. Ini berarti bahwa rancangan prototipe bahan ajar dapat dinyatakan praktis atau memenuhi kriteria kepraktisan.

c. Uji Keefektifan

Keefektifan bahan ajar ditentukan berdasarkan komponen-komponen keefektifan, yaitu kemampuan guru mengelola pembelajaran, persentase ideal aktivitas siswa, respon siswa, respon guru, dan penguasaan bahan ajar oleh siswa. Bahan ajar efektif apabila 3 dari lima komponen tersebut terpenuhi dengan syarat penguasaan bahan ajar harus terpenuhi.
Hasil pengamatan semua komponen keefektifan bahan ajar pada uji pengembangan secara ringkas disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 4. Hasil analisis data keefektifan bahan ajar


Sumber: data penelitian
Keterangan:
U-I = Uji coba ke-1, U-II = Uji coba ke-2

Tabel 4 di atas menjelaskan bahwa 4 dari 5 komponen keefektifan pada uji coba I terpenuhi, yaitu kemampuan guru mengelola pembelajaran, persentase ideal aktivitas siswa, respon positif siswa dan guru, sedangkan penguasaan bahan ajar belum terpenuhi. Pada uji coba II, semua komponen keefektifan terpenuhi pada uji coba II. Ini berarti bahwa pada uji coba I bahan ajar tidak efektif karena meskipun minimal 3 dari 5 komponen terpenuhi tetapi penguasaan bahan ajar tidak terpenuhi. Sedangkan pada uji coba II memenuhi minimal 3 dari 5 komponen terpenuhi dan penguasaan bahan ajar terpenuhi. Dengan demikian, bahan ajar efektif pada uji coba II.

3. Tahap Penyebaran
Untuk memenuhi fungsi adopsi bahan ajar hasil pengembangan, penyebaran penyebaran dilakukan kepada guru-guru Matematika SMP dalam forum MGMP Matematika SMP Kabupaten Pangkep, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Desember 2008 dan memperoleh respon positif pada semua aspek penyebaran, yaitu kejelasan, kebenaran, pemahaman, pengaruh, ketepatan waktu, dan kepraktisan masing-masing dengan rata dan persentase respon positif 3,15;100%, 3,28;100%, 2,73;77,78%, 3,28;100%, 2,71;83,33%, dan 2,94;100%. Ini berarti tahap penyebaran bahan ajar berjalan efektif.

TEMUAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN
Temuan Penelitian
Beberapa temuan penelitian yang penting dikemukakan adalah: (1) bahan ajar materi bangun ruang sisi lengkung berbasis konstruktivistik efektif pada kelas yang memiliki tingkatan pengetahuann awal memadai, (2) konstruksi pengetahuan secara personal bisa dilakukan oleh sebagian kecil siswa, dan sebaliknya konstruksi sosial sangat efektif bagi kebanyakan siswa, (3) motivasi dan antusiasme belajar siswa cukup tinggi dan kepercayaan diri siswa dalam belajar meningkat pada proses pembelajaran, (4) adanya peningkatan kemampuan siswa dalam melakukan elaborasi atau organisasi konsep pada proses penemuan konsep, dan konsepsi siswa tinggi karena hasil tes akhir proses pembelajaran (quis tes) dengan rata-rata yang tinggi, (6) bahan ajar materi bangun ruang sisi lengkung berbasis konstruktivistik sangat relevan untuk pembelajaran konsep, (7) bahan ajar dan buku panduan guru untuk materi BRSL berbasis konstruktivistik dapat membentuk pola belajar mandiri siswa.

Langkah-langkah Pengembangan


Gambar 1. Modifikasi model Four-D Thiagarajan dkk (1974)

Keterbatasan Penelitian
Beberapa keterbatasan hasil penelitian ini adalah: (1) Bahan ajar disusun dalam cakupan terbatas dan diujicobakan secara terbatas pula, sehingga belum tentu berdampak sama pada materi, subjek, dan kesempatan berbeda, (2) Uji pengembangan dilakukan dalam frekuensi pembelajaran yang terlalu padat sehingga menimbulkan dampak psikologis bagi siswa atau guru, misalnya kebosanan dan kelelahan, walaupun ada nilai positifnya, yaitu belajar lebih intensif, (3) Pengamatan aktivitas siswa dilaksanakan hanya pada satu kelompok subjek uji coba, yang tidak selalu mencerminkan aktivitas seluruh siswa.

SIMPULAN DAN SARAN

1. Simpulan
Berdasarkan uraian sebelumnya, hasil-hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa proses pengembangan bahan ajar ditempuh melalui 4 tahapan utama, yaitu pendefinisian, perancangan, pengembangan, dan penyebaran. Pengembangan menghasilkan bahan ajar materi bangun ruang sisi lengkung berbasis konstruktivistik yang memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan.
Karakteristik bahan ajar materi bangun ruang sisi lengkung berbasis konstruktivistik yang dihasilkan dari pengembangan berupa bahan ajar yang tidak menyajikan pengetahuan yang serba jadi, lengkap dan siap diserap melalui membaca dan menghafal, melainkan harus ditempuh melalui proses penemuan, elaborasi atau organisasi konsep terkait, dalam ragam aktivitas belajar yang aktif dilakukan secara personal atau sosial, secara kontinyu dengan sedikit bantuan guru.

2. Saran

Pembelajaran matematika berjalan secara efektif apabila kebutuhan bahan ajar dipenuhi oleh guru. Untuk itu hasil pengembangan bahan ajar materi bangun ruang sisi lengkung berbasis konstruktivsitik yang valid, praktis, dan efektif ini selayaknya digunakan lebih lanjut dalam proses pembelajaran matematika.
Untuk mendapatkan bahan ajar yang memiliki keefektifan dan konsistensi lebih tinggi perlu dilakukan pengujian lebih lanjut pada ruang lingkup subjek yang lebih luas, misalnya pada semua kelas dan tingkatan sama atau pada sekolah lain.
Hasil-hasil penelitian dan temuan penelitian dapat digunakan sebagai ide penelitian lebih lanjut pada materi sama dengan subjek berbeda, materi berbeda dengan basis yang sama, materi berbeda dengan pendekatan atau metode pembelajaran berbeda sesuai karakteristik materi.

Konstruktivisme sebagai falsafah belajar dan pembelajaran, yang memayungi penyusunan bahan ajar atau rancangan pembelajaran matematika sangat mendukung pencapaian kompetensi siswa, sehingga perlu diterjemahkan secara riil dalam setiap materi ajar dan prosedur pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. “Laporan Hasil Secara Nasional Ujian Nasional SMP Tahun Pelajaran 2006/2007.” Statistik UAN. Online (http:// www.bsnp-indonesia.org/exam.php), Download tgl. 3 Juli 2008.
Bell, Frederick H. 1981. Teaching and Learning Mathematics (In Secondary Schools). USA: Wm. C. Brown Company Publishers.
Dahar, Ratna Wilis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Ditjen Dikti Proyek Pengembangan LPTK Depdiknas.
Depdiknas. 2005a. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 11 Tahun 2005, Tentang Buku Teks Pelajaran. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2005b. Matematika. Bahan Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi Guru SMP. Jakarta: Dirjen Dikdasmen, Ditjen PLP Depdiknas.
Depdiknas. 2006a. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 22 Tahun 2006, tentang Standar Isi Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2006b. Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar. Jakarta: Direktorat SMP Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah.
Depdiknas. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 41 Tahun 2007, tentang Standar Proses untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2008a. Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMA, Dirjen Mandikdasmen, Depdiknas.
Depdiknas. 2008b. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 2 tahun 2008 Tentang Buku. Jakarta: Depdiknas.
Freudenthal, Hans. 1991. Revisiting Mathematics Education. Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
Hamzah. 2003. “Pembelajaran Matematika Menurut Teori Belajar Konstruktivisme.” Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No.040-Januari 2003. Online (http://www.depdiknas.go.id), Download Tgl. 19-9-2007.
Hudojo, Herman. 2005. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Negeri Malang Press.
Muljono, Pudji. 2007. “Kegiatan Penilaian Buku Teks Pelajaran Pendidikan Dasar dan Menengah.” Buletin BSNP Vol. II/No.1/Januari 2007 (Hal. 14).
Nur, Mohamad. 2004. Strategi-strategi Belajar. Edisi 2. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah UNESA
Pambudi, Didik Sugeng. 2007. ”Berbagai Alternatif Model dan Pendekatan dalam Pembelajaran Matematika.” Jurnal Pendidikan Matematika Prodi Pendidikan Matematika PPs Universitas Sriwijaya Vol. I No. 2, Juli 2007, Hal. 39-45.
Sa’dijah, Cholis. 2006. “Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme untuk Siswa SMP.” Jurnal Pendidikan Matematika MATHEDU PPs UNESA Vol. 1 No. 2, Juli 2006, Hal. 111 – 122.
Soedjadi, R.. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.
Soedjadi, R.. 2007. Masalah Kontekstual Sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa.
Sudrajat, Akhmad. 2008. Pengertian Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, Taktik, dan Model Pembelajaran. Pusat Sumber Belajar. On line (http://psb-psma.org/blogs/akhmadsudrajat) Download tanggal 16 Januari 2009.
Suherman dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Common Textbook. Bandung: JICA-Univesitas Pendidikan Indonesia.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suparno, Paul. 1996. Konstruktivisme dan Dampaknya Terhadap Pendidikan. Online (http://www.library.ohio.edu/indopubs/ 1996/11/18/0236. html), Download tanggal 9 Mei 2008.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kansius
Thiagarajan, Semmel and Semmel, M. 1974. Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children. Blomington: Central for Innovation on Teaching the Handicapted.
Trianto. 2007b. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
[1] Alumni Prodi Pendidikan Matematika PPs UNM Makassar dan Guru SMP Negeri 1 Bungoro Pangkep